Oleh : Rinaldi Buchari Mantan Direktur Bank, Pemerhati Masalah Keuangan-Sosial.
Tradisi bederma di Indonesia cukup marak terlebih lagi dengan banyak bermunculannya yayasan sosial serta keterlibatan media massa elektronik maupun non-elekteronik dalam memfasilitasi kegiatan bederma. Hal yang perlu dipertanyakan adalah seberapa besar kuantitas dan kualitas serta seberapa profesional program bederma yang kini ada di Indonesia.
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, sangat menjunjung tinggi ibadah bederma seperti yang dinyatakan dalam Surat Ali Imran ayat 92: “”Kamu sekali-sekali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai””. Lebih jauh juga dapat dilihat dari Surat al-Fajr ayat 15-20: “”Ada pun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka ia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”.
Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka ia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya karena kamu tidak memuliakan anak yatim; dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin; dan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampur adukkan yang halal dan yang batil; dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan””.
Tradisi bederma yang luar biasa juga dicontohkan oleh sahabat-sahabat Rasulullah SAW, di antaranya adalah Usman bin Affan RA. Beliau pernah ditanya oleh sahabatnya dalam kaitannya dengan kesenangannya membantu orang melalui kekayaan yang senantiasa melimpah dari usahanya, beliau mengatakan:
“”Aku ingin meninggalkan dunia sebelum ditinggalkan oleh dunia. Karena itu aku senantiasa berupaya untuk menjadikan yang dilimpahkan oleh Allah kepadaku ini bermanfaat untuk hidup di dunia ini dan sekaligus menjadi bekal untuk kehidupan kekalku di akhirat kelak””.
Realitas bederma di Amerika
Sebagai perbandingan dan sekaligus juga sebagai bahan pelajaran, ada baiknya kita melihat tradisi bederma di negara maju, misalnya seperti Amerika.
BusinessWeek, majalah bisnis terkemuka di Amerika, dalam edisi 1 Desember 2003 mengupas tuntas perkembangan terakhir tradisi bederma yang dilakukan oleh orang-orang kaya dan perusahaan-perusahaan besar di Amerika.
Majalah ini juga meranking para dermawan yg terdiri dari perorangan maupun perusahaan berdasarkan data-data publik, siaran pers, dokumen yayasan-yayasan, maupun wawancara. Dari hasil survei majalah tersebut didapatkan hasil bahwa dari 50 dermawan terbesar di Amerika, seperti Bill Gates, George Soros, dan lain-lainnya, total dana yang mereka sumbangkan ke yayasan-yayasan sosial berjumlah sekitar Rp 500 triliun!
Dihitung secara rata-rata, rasio perbandingan antara dana yang disumbangkan dengan kekayaan mereka saat ini adalah 67 persen, yang artinya mereka menyumbang rata-rata lebih dari 40 persen harta mereka! Islam menganjurkan untuk bederma secara diam-diam. Hal ini sesuai pernyataan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis:
“”Jika tangan kananmu bederma sebaiknya tangan kirimu tidak mengetahui””.
Ada hal yang menarik yaitu ternyata tradisi bederma secara diam-diam juga dilakukan di Amerika. BusinessWeek juga mengulas para dermawan yang menyumbang secara diam-diam tanpa publikasi. Mereka pada umumnya sulit dilacak karena menyembunyikan identitas mereka dengan bantuan ahli hukum, misalnya melalui pembentukan yayasan berbadan hukum di luar negeri.
Salah satu dermawan diam-diam yang berhasil dilacak oleh BusinessWeek adalah pendiri toko-toko duty-free yang terdapat di pelabuhan udara seluruh dunia, Charles Feeney. Dia menyumbangkan 39 persen saham perusahaan kepada yayasan sosial yang saat ini bernilai lebih dari Rp 31 triliun. Bila dibandingkan dengan kekayaanya saat ini yang tidak lebih Rp 12,7 miliar, Feeney menjalani hidup yang sederhana dan dia juga mengatakan bahwa “”otak seorang pun keluar dari dunia ini hidup-hidup””!
Di Indonesia, perusahaan-perusahaan yang bederma belum menjadi suatu tradisi. Berbeda dengan di Amerika, perusahaan-perusahaan di sana sudah jauh lebih maju dalam tradisi bederma. BusinessWeek baru-baru ini melakukan survei di 500 perusahaan terbesar di Amerika, dari total 218 responden, sebanyak 214 (98 persen) setuju bahwa perusahaan bederma adalah baik.
Di mana sebelumnya, pada tahun 1980-1990, banyak perusahaan atas nama efisiensi dipengaruhi oleh pendapat dari ekonom terkenal, Milton Friedman, yang berpendapat bahwa “”bisnis adalah bisnis”” (Sepenuhnya tergantung dari kesediaan pemegang saham perusahaan untuk menyisihkan sebagian/seluruh dividen untuk bederma).
Perusahaan-perusahaan donatur di Amerika memberikan sumbangan dalam bentuk uang tunai (rata-rata 0,4 persen dari total pendapatan) dan dalam bentuk produk/jasa (rata-rata 0,7 persen dari total pandapatan). Total sumbangan dalam bentuk tunai maupun produk/jasa dari sekitar 30 perusahaan Amerika di tahun 2002 bernilai kurang lebih Rp 19,5 triliun.
Salah satu perusahaan besar Amerika yang aktif bederma adalah General Mills yang berkantor pusat di Mineapolis. Pada pertengahan tahun 1990, tingkat kejahatan di Mineapolis 70 persen lebih tinggi dari New York. Namun, dengan bantuan konsultan yg dibayar General Mills bekerja sama dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat ditambah lagi sumbangan dalam bentuk uang dan keterlibatan para pegawai, tingkat kejahatan di Mineapolis turun lebih dari 50 persen.
General Mills sejak tahun 1800-an telah mendirikan panti yatim piatu yang saat ini menjadi pusat pembinaan anak. Di zaman Rasulullah telah dimulai proses menginstitusikan tradisi bederma dengan membentuk semacam “”yayasan””. Salah satu cikal bakal yayasan dalam masa Rasulullah SAW dimulai oleh istri beliau, Zaenab binti Jahasy. Zaenab mengumpulkan anak-anak yatim dengan memberikan bantuan keterampilan dalam sulam menyulam serta dana yang ia kumpulkan dari sahabat Rasulullah yang bederma.
Di Amerika tradisi bederma melalui pembentukan yayasan yang profesional telah lama dilakukan. Tren terakhir menunjukkan bahwa, berbeda dengan para pendahulunya, para dermawan saat ini membentuk yayasan-yayasan sosial pada saat mereka masih hidup, bukan setelah mereka meninggal.
Beberapa alasan yang dikemukakan dengan bederma melalui yayasan saat masih hidup adalah agar mereka dapat memastikan dana yang mereka sumbangkan digunakan untuk program-program sosial yang mereka inginkan di mana mayoritas untuk program mengatasi kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan.
Selain itu para dermawan juga ingin memastikan yayasan sosial mereka dikelola secara profesional seperti layaknya organisasi bisnis, di mana yayasan beroperasi atas dasar “”hasil yang terukur, efisien, dan transparan””. Hal menarik untuk disimak adalah walaupun para dermawan di Amerika bekerja keras menumpuk harta yang banyak, mereka tidak ingin mewariskan harta yang sangat banyak tersebut kepada anak-anak mereka karena khawatir akan membuat mereka menjadi manja dan malas untuk bekerja.
Sekarang ini sudah banyak riset sosial yang menunjukkan betapa bahayanya kombinasi antara kekayaan dan umur muda. Ada suatu studi yang baru-baru ini dilakukan oleh Universitas Columbia, salah satu universitas terkemuka di Amerika, menunjukkan bahwa anak-anak orang kaya lebih mudah gelisah dan tertekan dibandingkan anak-anak orang sederhana atau miskin.
Alasan lain para dermawan tidak mau mewarisi harta yang banyak kepada anak mereka adalah karena kebanyakan kekayaan yang didapat bukan dari harta warisan tetapi dari bekerja keras. Jadi mereka ingin anak-anak mereka menikmati kebahagiaan dan arti dari bekerja.
Selain itu para dermawan menganggap yayasan sosial yang mereka bentuk adalah juga salah satu “”warisan”” bagi anak-anak mereka, di mana mereka ikut melibatkan anak-anak mereka dalam kegiatan yayasan sosial mereka sehingga anak-anak mereka ikut menikmati kebahagiaan bederma.
Dikelola secara profesional
Satu pelajaran yang dapat diambil perkembangan tradisi berderma di Amerika adalah bahwa tradisi bederma yang baik harus ditunjang oleh pembentukan yayasan sosial yang “”profesional”” dan “”amanah””. Secara umum yayasan-yayasan sosial Islam di Indonesia belum dapat bekembang dengan baik jika dilihat dari segi besarnya dana yang dikelola, pengelolaan dana, dan program pendistribusiannya.
Masih banyak yayasan sosial yang belum dikelola secara profesional dengan menggunakan tenaga profesional yang andal. Secara umum masih dikelola secara kekeluargaan, dalam beberapa kasus bahkan anggota keluarga ikut mencari nafkah dalam kegiatan yayasan. Sedikit sekali tenaga profesional yang andal berminat secara full time bekerja di yayasan karena rendahnya kompensasi yang diterima.
Kendala utama dalam meningkatkan “”profesionalisme”” yayasan sosial di Indonesia salah satunya adalah terbatasnya dana yang dikumpulkan akibat dari sulitnya mendapatkan dermawan dengan sumbangan yang besar di dalam negeri. Hal ini mungkin akibat lemahnya kredibilitas yayasan dan masih lemahnya tradisi bederma di masyarakat terutama di kalangan yang mampu. Faktor lainnya adalah lemahnya kemampuan financial management dari yayasan untuk mengelola dan meningkatkan nilai dari dana yang ada.
Di samping itu sebagian besar yayasan-yayasan sosial yang ada juga kurang mampu mengakses dana-dana sosial di luar negeri karena ketidakmampuan secara profesional menjual program-program sosial mereka. Dalam kondisi negara yang terus dirundung krisis ini, tampaknya kita harus belajar banyak dari perkembangan tradisi bederma di Amerika di mana dalam bederma, para dermawan tersebut tidak hanya memberikan dana namun juga pemikiran mereka dalam bederma.
Para dermawan di Amerika menunjukkan pada kita bahwa harta yang terlalu banyak pada akhirnya lebih bermanfaat untuk diberikan pada yang lebih membutuhkan dan mereka merasakan kebahagiaan lebih dengan bederma bersama anak-anak mereka. Dalam situasi krisis yang berat seperti ini, kita tampaknya harus mengkampanyekan jihad harta yang lebih radikal baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Pemenuhan kewajiban zakat yang 2,5 persen jika dibandingkan dengan 40 persen dari harta yang disumbangkan dermawan di Amerika, tentunya sangat kurang dari cukup untuk membantu mengangkat derajat kaum muslimin yang membutuhkan saat ini. Seorang ulama besar dari Mesir setelah berkunjung ke Amerika menyatakan: “”Di Amerika saya melihat Islam tetapi jarang ada orang Islam, sebaliknya di Mesir saya melihat banyak orang Islam tetapi saya tidak melihat Islam””. Mudah-mudahan sinyalemen ini tidak berlaku di Indonesia. Kita memang tidak suka dengan arogansi pemerintah Amerika Serikat, tapi tak ada salahnya belajar dari masyarakat mereka. (RioL)